Pendakian Tak Terlupakan, Gunung Lawu Pemilik Puncak Terdingin Di Jawa .

17:55



2018.
Dzawin, seorang Stand Up Comedy-an kenamaan Indonesia baru mengupdate video terbaru tentang pengalaman mistisnya saat mendaki puncak Lawu. Gunung yang konon merupakan tempat pertemuan dari 2 kesultanan, yaitu kesultanan Solo dan kesultanan Jogja.
Tenggelam dalam seriusnya menyaksikan video tersebut hingga selesai, membuatku kembali mengingat perjalanan ke puncak Gunung Lawu. Sebuah puncak yang memang memiliki banyak kenangan.  Dari rasa takut persis seperti yang Dzawin rasakan, kesal, hingga haru saat kedua kaki yang tak pernah berolahraga, berhasil menginjakkan kaki di puncak gunung yang sangat dingin itu.

Ah!
Bukan Mozaik namanya jika tak suka bernostalgia.

Lawu sebenarnya bukan puncak pertama yang aku daki. Sebelumnya aku berhasil menginjakkan kaki di Gunung Merbabu. Gunung yang sangat mempesona dengan 2 SABANA dan pemandangan Merapi yang sangat memanjakan mata karena tampak begitu gagah.

Merbabu

Perjalanan ini dilakukan pada tahun 2014.
Saat kampus sedang hiruk pikuk dengan kepanitaan dari sebuah event yang begitu kami banggakan. Beruntung bagi Mahasiswa yang berada di Jogja, ketika letih terhadap rutinitas yang begitu-begitu saja, kuliah, rapat, pulang, makan, tidur, kamar mandi, dan tugas. Kami dapat memanjakan tubuh dengan menikmati banyak wisata yang nyatanya memang sangat dekat dari Jogja. Dari banyaknya pantai yang dapat dipilih, hingga beberapa gunung yang dapat didaki.

2014 rasanya tubuh masih sangat bergelora dengan semangat yang begitu membara. Ditambah masih hangat film 5cm yang begitu indah, jadi memang gunung adalah pilihan utama ketika ingin melakukan wisata. Terlebih ego yang dapat membanggakan diri ketika memiliki foto dari puncak Gunung yang mungkin tak banyak orang raih.

Dalam kamar kos ukuran 4x4, dengan kasur yang tak berdipan. Ide begitu saja keluar, saat Ade salah satu kawanku mengemukakan pendapat "Tadi gue liat orang bawa Carrier, naik gunung juga lah yuk."

Ide yang begitu saja langsung dibalas dengan kata "yuk" oleh beberapa orang di kamar itu. Sebutlah Aku, Fadlan, Luthfi dan Dede. Jam yang menunjukkan pukul 15.00 WIB membawa percakapan berlanjut ke kata "Kapan?" yang aku keluarkan.

Ah, kau harus tau sebelumnya, bahwa rombongan pertemanan ini sudah sangat kenyang dengan banyak rencana yang dikeluarkan tapi tidak dilakukan. Bahkan kami menamakan pertemanan ini sebagai "THE WACANA", sebutan bagi orang-orang yang sangat suka berwacana.

Agar tak jadi angan yang hilang lagi entah kemana. Ade langsung saja menyebut bahwa besok adalah ide yang paling baik dan realistis agar mendaki gunung ini kembali dapat terlaksana. Tentu saja, merasa tertantang dengan kata itu (ah sebagai laki-laki kami memang gampang untuk tertantang) kami langsung mengiyakan ide tersebut.

Percakapan berubah lagi kearah tentang jumlah uang yang harus dikeluarkan untuk patungan menyewa alat-alat seperti Carrier, Tenda, dan berbagai macam alat lainnya. Ah, lagi-lagi kami beruntung kuliah di Jogja. Karena disini memang banyak tempat penyewaan alat yang dapat kami andalkan.

Sore itu rombongan ini bubar begitu saja saat uang sudah dikeluarkan, dan kami berjanji akan berkumpul lagi di kamar Fadlan ini setelah Isya.

❤❤❤❤❤❤❤

Ade datang lagi dengan membawa banyak peralatan. Ade memang kami andalkan dalam menyewa alat-alat ini. Agak kasian sebenarnya, cuma entahlah mari kita anggap Ade sebagai sosok yang memang sangat bisa untuk diandalkan.

Kebetulan aku, Fadlan, dan Luthfi ngekos di tempat yang sama dengan kamar yang berbeda. Jadi cukup gampang bagi kami untuk menuju kamar Fadlan saat Ade datang. Tak lama, Dede juga datang dengan membawa keceriaan, mengingat ini adalah pendakian pertamanya.

Asyik bercengkrama, aku memutuskan untuk mengajak satu orang lagi ke dalam grup ini. Orang ini adalah Heri, anak Lombok yang dulu kosannya berada di dekat kosku,  dan juga banyak menghabiskan mata kuliah di kelas yang sama denganku. Mengajak Heri juga dilakukan, mengingat kami semua adalah pendaki amatir yang tak memiliki banyak pengalaman di atas gunung. Terlebih waktu di Merbabu dulu, bahkan kami tak bisa mendirikan tenda yang sempurna ketika sudah berada di Sabana untuk ngecamp. Jadilah Heri kami anggap sebagai sosok yang mungkin dapat kami andalkan ketika akan naik ke puncak gunung, terlebih Heri kerap menceritakan tentang pengalamannya ketika naik turun gunung Rinjani. Sebuah gunung yang semoga akan bisa aku daki nanti.

Tak butuh waktu lama untuk Heri setuju. Cukup dikabari via telfon, dan diutarakan maksud serta tujuan kami, Heri langsung mengiyakan dan menuju ke kos untuk ikut berdiskusi.

"Jadi ke gunung mana?" celetuk Luthfi.
"Merapi aja yok." Ade menjawab.

Ah, tak butuh detik untuk berpikir. Kami semua langsung setuju dengan ide itu.
Sibuk menyiapkan mental dan memanjangkan bayangan terhadap betapa menyenangkannya pendakian ini nanti. Tiba-tiba Fadlan si pemilik kamar mengeluarkan kata yang mematahkan semangat kita semua.

"Ga bisa, Merapi baru longsor" ujar Fadlan dengan pandangan yang masih tertuju pada handphonenya.

"Jadi kemana nih?" aku yang ga mau pendakian ini ga jadi mengeluarkan kata dengan nada sedikit putus asa.

"Merbabu aja, gimana?" Ade membalas dengan Heri yang ikut mengiyakan.

"Ah, kalau Merbabu jangan lah, sudah pernah." Aku menjawab.

Mendaki gunung itu capek. Dan Gunung yang aku daki baru satu, rasanya jika harus menghabiskan tenaga dan waktu lagi di gunung yang sama tentu akan mengesalkan. Terlebih aku tak bisa membanggakan foto-foto di puncak yang berbeda. Untungnya aku tak sendiri, Luthfi juga tak sepakat jika harus mendaki ke Gunung Merbabu lagi.

Cukuplah sekali kami sampai ke puncak Merbabu waktu itu. Pemandangan yang didapatkan juga sudah sangat detail ditangkap dengan semua keindahannya. Jadi rasanya tak ada alasan untuk ke Merbabu lagi.
Merapi dari Merbabu
Lalu semua berpikir tentang Gunung mana yang dapat dituju dengan minim persiapan seperti ini. Sindoro, Prau, dan Sumbing dikeluarkan. Namun semua akhirnya gugur mengingat perjalanan yang harus ditempuh menggunakan motor dan dirasa tidak memungkinkan untuk dilakukan karena persiapan yang sangat minim.

Di tengah keputusasaan pendakian yang mungkin tak jadi dilakukan, Heri memunculkan nama sebuah gunung.

"Lawu gimana? diatas puncaknya ada yang jualan, nanti kita ke Solo naik kereta dari Jogja. Motor biar diparkir di stasiun. Sisanya biar kita naik bis dari Solo ke basecamp Lawunya."

Dengan ide yang paling relistis, semua tentu saja sepakat. Ade langsung mencari jadwal kereta dari Jogja ke Solo.

"Ini ada pagi jam 07.00, yaudah kita istirahat disini aja nanti pagi naik motor" ucap Ade memberikan jawaban kepada kami.

Malam itu semua langsung terlelap mengingat perjalanan melahkan yang akan dilakukan.


❤❤❤❤❤❤❤

Membawa Carrier, dan 3 motor kami semua menuju ke stasiun. Jogja yang gerimis kami terabas begitu saja karena takut kereta yang kami incar sudah pergi meninggalkan kami.

Bak seorang traveller gagah kami berjalan pongah dengan menggendong Carrier di stasiun Lempuyangan. Beruntung, kereta Prameks (Prambanan Ekspres) seharga 8000 yang kami incar masih ada dengan waktu yang sama. Tiket didapat, senyum tersemat disemua wajah. Kami mengabadikan momen berharga ini dengan senyuman.
Stasiun Lempuyangan

Jogja ke stasiun Solo Balapan ditempuh selama 2 jam. Perjalanan dihabiskan dengan banyak obrolan, dan lantunan lagu yang aku putar pelan untuk didengarkan melalui headshet. Ah, menjadi petualang seperti ini memang sudah menjadi mimpiku sejak lama. Perasaan gagah sebagai anak muda yang merdeka dan bertualang mencari tantangan tentu menjadi idaman. Aku sudah seperti anak muda yang aku bayangkan! ucap hatiku dengan pongah.
Di dalam kereta



Waktu berputar dengan mata yang terlelap, menyalurkan letih yang mungkin tak terbayar oleh tidur yang malam tadi hanya kami dapatkan cuma sebentar.Dan tentu saja, letih itu masih tak terbayar saat kereta sudah berhenti di stasiun Solo Balapan.

Turun, lagi aku berfoto dengan Fadlan. Maklumi saja, aku cuma ingin semua momen yang mungkin cuma aku dapatkan beberapa kali selama seumur hidup ini diabadikan dengan sangat baik.
Fadlan dan Saya
Melangkahkan kaki dengan gagah, itulah yang dilakukan saat Solo Balapan ternyata agak berjarak dengan terminal bis yang akan membawa kami ke Terminal Tawang Mangu.

Apakah melelahkan?
Tentu saja tidak, saat perasaan bangga benar-benar menyelimuti semua dari kami. Jadi pusat perhatian, membawa Carrier bak petualang yang siap melangkahkan kaki ke seluruh penjuru dunia. Benar-benar tak ada yang ditakutkan, dan lelah tak dirasakan saat kaki-kaki Mahasiswa Jogja ini berjalan hingga sampai ke terminal.

Semesta bahkan memudahkan, saat belum melangkah masuk ke dalam terminal, Bis jurusan Tawang Mangu melintas di depan kami.

"PAK BIS PAK!" Teriak Heri yang menghentikan bis.
Sontak kami berlari menuju Bis yang ternyata berhenti jauh melewati kami.

2 Jam perjalanan, dengan tiket bis seharga 14.000 Rupiah dihabiskan ketika menuju Tawang Mangu. Perjalanan panjang yang sialnya harus dihabiskan dengan lantunan lagu Dangdut yang tak jelas makna dan tujuannya.

Jangankan bergoyang, kami semua malah tersenyum aneh mendengar lagu yang terus diputar selama 2 jam perjalanan.
"Cintai aku karena Allah." itulah lirik lagu yang terus mengiang di kepala mengingat lagu berkata rohani dan bernada dangdut koplo itu terus berputar selama 2 jam. Bahkan cukup menambah mual saat perjalanan mulai berbelok menanjak.

Terus saling tersenyum satu sama lain dan sambil mengumpat di dalam hati terkait lagu-lagu ini. Bis kemudian sampai di Tawang Mangu. Hampir saja kalian membaca bahwa aku akan muntah, kalau perjalanan ini lebih lama.

Kupikir Tawang Mangu adalah garis finish dari kami berkendara. Ternyata perjalanan masih harus dilanjutkan dengan sebuah mobil Colt berbentuk kapsul yang mengantarkan kami ke gerbang awal pendakian.

Di Tawang Mangu sendiri berdekatan dengan pasar, jadi kami memutuskan untuk sedikit beristirahat sembari belanja barang-barang yang mungkin kurang disiapkan, seperti sarung tangan dan masker. Bahkan kami menyempatkan waktu untuk sarapan. Pendakian itu ga penting kalo lo laper, ujar salah satu kawan di lain kesempatan.

Selesai semua urusan, dan mobil didapatkan. Dengan harga 5000 Rupiah kami berkendara naik menuju gerbang awal pendakian.

Belum hilang rasa kesal terhadap bis yang tadi kami tumpangi. Mobil ini lagi-lagi membuat semua dari kami ingin memaki.
contoh mobil
Mobil yang mungkin harusnya hanya untuk kurang dari 10 orang dipaksa diisi oleh 20 orang. Ah, benar-benar 20 orang! bahkan Heri harus duduk di kursi supir dengan posisi memangku supir. Aku tau uang adalah nafkah yang harus dicari, tapi dengan jumlah penumpang yang begitu sesak rasanya tak berkah lagi nafkah yang harus dicari ini.
liatlah muka yang tak bersahabat, jadi tambah tak bersahabat
Untungnya perjalanan itu tak memakan waktu jam. Baru hitungan menit, kami sudah sampai di gerbang Cemoro Sewu yang ternyata sudah berada di wilayah Jawa Timur.

Tanpa senyum yang diberi, kami yang sudah membayar lunas uang ke supir langsung melengos pergi menuju tempat pembayaran retribusi sekaligus pendataan ketika hendak naik.

Sial!

Itulah yang benar-benar menggambarkan kami. "Diatas badai mas, ga bisa naik" ujar salah satu petugas setelah beriteraksi dengan kami. Tak terbayangkan lagi rasa kesal, kecewa, dari harapan yang harus dikandaskan mendengar kata barusan. Bagaimana bisa, kami yang sudah lelah berjalan jauh dengan berbagai macam cobaan harus mengurungkan pendakian gara-gara badai.

Tak hanya kami, terlihat pendaki yang mondar mandir kesana kemari karena resah tak bisa mendaki.

"Sudah kita sholat sunah aja dulu di Mushola" ujar Heri berusaha menenangkan perasaan yang sudah tak karuan.

Entah sholat sunnah apa yang dilakukan, kami semua sholat dengan sujud akhir yang begitu lama sembari berdoa agar badai dapat berlalu dan kami dapat melanjutkan perjalanan ke puncak Lawu.

"Mas kalau mau naik ya naik aja, tapi kalau ada apa-apa kita ga tanggung jawab" ucap penjaga retribusi ketika Heri kembali bernegosiasi.

Karena tak ingin lelah ini tak terbayar dengan sesuatu yang indah. Dengan keyakinan dan lafazh Bissmillah kami semua memutuskan untuk naik ke atas, dengan pertimbangan siapa tau badai berhenti dan jika memang badai masih terjadi kami akan turun lagi.

Tanpa retribusi, tanpa didata. Kami nekat melanjutkan perjalanan.
Fadlan Luthfi Dede Saya Ade (yang motret) Heri
Dengan Bissmillah dan masing-masing kepala yang telah tertunduk berdoa, kami kemudian melangkah.

Semua yang baik-baik saja, tak ada gerimis dan langit cerah menambah semangat yang dikobarkan untuk menutup rasa kecewa. Kali ini HP aku putar lagu-lagu dari JKT48 dengan headshet yang tak terpasang. Suara merdu Melody dan kawan-kawan menemani langkah kami yang terus mendaki.

Kami berpapasan dengan banyak pendaki yang turun. "Diatas badai mas?" Luthfi berujar. "Wah mas dah 3 hari ga liat matahari" ujar mereka. Ah, sekali lagi kecewa sedikit melunturkan semangat yang membara.

Namun karena sudah terlanjur melangkah, kami tetap nekat walaupun ketika bertanya kepada pendaki lain yang turun, kami juga mendapatkan jawaban yang sama.

Mulai mendaki pada pukul 11:00, kami bersantai dan bercanda disepanjang jalan. Dengan Melody yang suaranya tak habis-habis dari tadi.

Lelah istirahat.
Lelah makan madu.
Lelah berhenti minum.
Tentu saja dengan bercanda disetiap momennya.
Itulah yang kami lakukan selama perjalanan.

Istirahat
Celaka mulai muncul saat Fadlan secara tiba-tiba mendadak sakit. Fadlan yang awalnya ceria, menjadi diam dan seperti tidak kuat melakukan perjalanan. Perjalanan sudah lebih dari 3-4 jam kami lakukan. Untunglah kami semua tidak membawa Carrier yang berat. Fadlan yang awalnya membawa Carrier kami tukar beban dengan bawaan Ade yang membawa tas kecil.

Kami semua tetap memaksa perjalanan ini. Bodoh sekali bukan?

Perjalanan yang awalnya tersenyum senang, mulai dipaksa dengan canda dan tawa yang dibuat. Berharap semua memang sehat dan dapat sampai dengan selamat.

Menit dan jam dilalui dengan Fadlan yang masih tak baik-baik saja.

Di Pos 3, gerimis mulai turun.

Cuaca Lawu memang sangat dingin. Bukan hanya dingin, bahkan suara angin yang dikeluarkan oleh Gunung Lawu begitu kencang untuk dirasakan dan didengarkan.

"Jangan ngecamp disini, ga bisa" Heri mengeluarkan pendapat karena memang kami sudah membaca sebelumnya bahwa di pos ini kami tak bisa mendirikan tenda.

Di Pos 3 kami juga bertemu beberapa pendaki yang hendak naik. Dari merekalah kami dijamu dengan minuman-minuman hangat yang cukup menolong.

Hari semakin gelap, dan gerimis masih belum benar-benar berhenti.

Kami harus tetap melanjutkan perjalanan. Fadlan yang sudah tak kuat sempat berujar untuk mendirikan tenda tak jauh dari pos 3. Namun, kami menguatkan Fadlan agar kami terus berjalan setidaknya agak jauh dari pos 3 yang tak dianjurkan untuk mendirikan tenda.

Fadlan tak lagi membawa tas. Tas Fadlan diberikan kepada Luthfi. Bukan hanya Fadlan ternyata, Aku, Luthfi, dan Dede nyatanya memang sudah mulai kelelahan dan merasakan sakit yang mungkin Fadlan rasakan.

Jadilah Heri membawa 2 Carrier berukuran besar di depan dan di belakang, dan Ade menggendong 1 Carrier lagi yang besar, sementara sisa dari kami membawa tas-tas berukuran sedang.

Untunglah Heri kami bawa. Jika tidak mungkin kami akan berhenti dan mendirikan tenda disana, dan kemudian turun pada esok harinya.

Kaki letih terus berjalan, dengan senyum yang tak lagi tergambarkan.
Canda sudah benar-benar hilang.
Untungnya begitu juga dengan gerimis yang berganti cerah walaupun hari sudah berangsur malam.


Perjalanan kemudian digantikan dengan lautan Samudera Awan yang dapat kami saksikan. Ah, nyatanya memang kami sudah berada tinggi di atas awan. Heri yang memiliki passion dengan fotografi mulai mengabadikan momen-momen langit jingga yang begitu mempesona itu.

Terlalu asyik dirinya dengan foto itu, hingga kami harus terpaksa juga menunggu. Heri lupa bahwa ia sedang berada di tengah-tengah orang yang sudah tak memiliki stamina, dengan lelah yang sudah sangat tak terbayangkan.

Bahkan Heri terpaksa harus mendapatkan nada emosi ketika kami harus mengajak dia bergegas cepat mencari tempat untuk mendirikan tenda.

Lawu benar-benar semakin dingin ketika matahari sudah sangat samar.
Lawu yang dingin juga harus ditambah dengan sosok-sosok yang kulihat aneh ketika masih berjalan.

Kami memang bertemu engan pendaki lain ketika Heri sudah selesai dengan fotonya.
Kamu tau? Aku melihat bahwa para pendaki yang sedang menyender di batu-batu besar itu, terlihat menggendok sosok tinggi besar diatas Carriernya.

Untungnya rasa letihku lebih besar dari rasa takut. Aku hanya berujar "mari mas" saat berjalan melewati mereka. Ya mereka, si pendaki dengan sosok yang ada di belakangnya.

Hari benar-benar gelap, dan badan sudah tak bisa lagi dipaksakan.
Melihat tanah yang sedikit luas, kami semua sepakat bahwa disinilah kami akan berkemah.

Di Merbabu hari masih terang dan kami gagal mendirikan tenda.
Di Lawu?
Untung ada Heri, sosok jagoan yang sangat beruntung untuk kami ikutkan.

Heri dengan cekatan mendirikan tenda.
Sendirian.
Bahkan ia berucap "maaf ya lama" saat kami hanya bisa terduduk lesu melihatnya dengan cepat berusaha mendirikan tenda.

Jujur saja, jika tak ada Heri aku mungkin akan teriak meminta pertolongan kepada siapapun yang ada.
Karena benar saja, kami semua kecuali Heri benar-benar sudah tertunduk lesu tanpa tenaga.
Untungnya badai tak ada, jika ada mungkin kalian akan memukan kami di layar media sosial atau cetakan koran sebagai Mahasiswa yang bernasib "sial" ketika di Lawu.

Tenda berdiri, kami semua masuk ke dalam.
Fadlan langsung tidur tenang.
Dengan Ade dan Heri yang membuka kompor dan masak mie untuk mengisi perut-perut kami yang sudah kelaparan.

Didalam tenda angin terdengar berhembus begitu kencang. Untungnya kami berenam didalam tenda, jadi tenda dapat tertahan untuk tidak bergoyang.

Fadlan dibangunkan lagi untuk mengisi perutnya yang lapar. Kami semua duduk merapat sembari menghabiskan makanan yang telah dibuatkan oleh Ade dan Heri. Mereka memang MVP untuk pendakian kali ini. Entah jadi apa kalau tidak ada mereka.

"Aku sholat dulu, ada yang mau ikut?" Ujar Heri mengajak.
Ah, badan saja rasanya sudah tak bisa digerakkan. Belum lagi dingin yang sangat mengigit. Aku minta maaf dengan Allah karena malam ini aku tak bisa Sholat menghaturkan kewajiban kepadanya. Belum lagi sebuah cerita yang kami dapatkan, ketika seseorang sedang sholat di Lawu lalu menyelesaikan Alfatiha, dan terdengar suara Aamiin dari ribuan orang yang menggema.

Kompilasi-kompilasi itulah yang akhirnya membuat hanya Heri dan Ade melaksanakan sholat dalam gelap. Mereka sholat di luar tenda berjamaah. Tentu saja entah dengan yang lain, aku sibuk mendengarkan Surah yang Heri baca. Dan ketika Alfatiha telah selesai, aku selalu berdoa agar tak ada suara Aamiin selain suara mereka berdua. Aku juga merasa mereka pasti sedikit bergetar dengan cerita itu. Tapi untunglah semua baik-baik saja. Heri dan Ade masuk lagi kedalam tenda.

Malam itu kita semua beristirahat, dengan cepat. Terdengar dengkuran dari Fadlan yang mungkin sudah dari tadi menahan lelah. Kita semua sepakat akan Summit Attack pada pukul 02.00, mengingat jarak kami yang belum sampai pos 4, dan jauh dari puncak.

❤❤❤❤❤❤❤

Semua bangun tanpa harus dibangunkan. Fadlan ternyata masih tidak fit untuk ikut ke puncak Lawu. Ingin rasanya menemani Fadlan, tapi keinginan untuk ke puncak Lawu terlihat sangat besar. Kami meminta ijin ke Fadlan untuk menuju puncak dan membiarkan ia istirahat sendirian di dalam tenda.

Fadlan pun setuju.

Jadilah kami berlima memblah malam, bersinar lampu flash dari HP tanpa headlamp menuju puncak Lawu.

Angin masih terdengar kencang, dingin masih terasa begitu mengigit. Perjalanan hanya dimulai dengan masing-masing berdoa dengan tulus agar tetap selamat dan dapat pulang ke Jogja dengan sehat tanpa kurang satu apapun.


Luthfi Ade Dede Saya

Satu demi satu langkah dilangkahkan.
Ratusan hingga sampai ribuan.
Lewat dalam malam, berselimut dingin menjadi teman.
Untungnya kami dapat melihat pemandangan lampu kota yang begitu indah. Entah kota mana saja itu, yang jelas mereka terlihat begitu mempesona memanjakan mata.
Pemandangan yang tak dapat diraih dengan muda, pemandangan yang sangat berharga karena dicapai dengan proses yang begitu lelah.

Dari jauh kami melihat lampu-lampu dari pendaki lain yang terlihat juga sudah mulai menanjak ke puncak. Pos demi pos dilewati. Terlihat banyak goa buatan tempat bertapa, ada juga terlihat sebuah kolam jernih yang entah untuk apa fungsinya.

Dibandingkan dengan Merbabu jalur pendakian Lawu ini sudah lebih baik, karena sudah tersusun batu-batu yang mempermudah pendakian. Celakanya batu-batu ini malah membuat sakit kaki, karena bentuknya yang tak rata, dan mungkin karena sudah ratusan langkah sudah dilakukan kaki ini diatasnya.

Bagiku mungkin Merbabu jauh lebih baik dan ramah untuk kaki, karena tanah disana jauh lebih empuk dan aman untuk kaki. Sehingga telapak kaki tak harus merasakan sakit, sesakit ketika menginjakkan kaki di Lawu.

Entah di langkah yang keberapa, akhirnya kita sampai di Warung Mbok Yem.
Warung tertinggi di Indonesia, karena berada persis dibawah Puncak Gunung Lawu. Warung ini begitu melegenda, karena kami banyak mendengarkan kisah tentangnya.

Sayangnya kami tak bisa berlama-lama, karena mengejar waktu untuk sampai ke puncak.
Perjalanan dari Warung Mbok Yem ke puncak ternyata menjadi lebih berat. Tak ada lagi jalan batu yang dari tadi kami lewati. Semua menjadi tanah, dengan keadaan jalan yang benar-benar sudah lebih miring ke atas.

"Gue ga kuat, kasih nafas buatan sih" ujar Ade sembari duduk meletakkan letihnya.

Kasih nafas buatan ke Ade? seorang pria?
Sebagai perjaka yang belum melepaskan ciuman pertamanya, tentu aku ga bakal mau melakukan itu.
Mungkin Heri adalah orang yang tepat memberikan hal tersebut, melihat sosoknya yang memang sudah menjadi pahlawan selama pendakian.

"Ayo de kuat" Heri menyemangati, mungkin berpikir bahwa ia tak mau memberikan ciuman nafas buatan itu.

Dengan pelan dan nafas yang sedah terengah-engah kami mulai meniti lagi perjalanan ini.

Hingga.
Matahari mulai menerangi.
Hingga.
Kedua kaki ini.
Berada di puncak terdingin Jawa yang menghabiskan banyak emosi.

Puncak Gunung Lawu!

Aku langusng meneteskan air mata.
Benar,
aku benar-benar meneteskan air mata.
Setelah banyak cobaan, setelah banyak halangan.
Akhirnya kaki-kaki ini berhasil menginjakkan kaki diatas sini.

Puncak Lawu yang dingin memang begitu indah. Jika harus membandingkan, Puncak Merbabu masih kalah indah dibanding dengan Puncak Gunung Lawu. Diatas sini, aku benar-benar merasa kecil. Benar-benar merasa tak berdaya. Benar-benar berkata bahwa Tuhan memang menunjukkan kekuasaannya dengan ciptaan yang sangat indah.

Tak lupa diatas sini, kita foto-foto. Wajib untuk dilakukan mengingat perjuangan ke atas sini begitu sangat melelahkan. Sedikit ada rasa sedih karena Fadlan tak bisa berbagi momen ini dengan kami. Sedikit kecewa melihat Fadlan tak bisa ikut bergembira bersama kami.

Dengan fajar yang meninggi, kami tak bisa berlama-lama di atas sini. Kami lalu turun untuk sedikit beristahat di tempat Mbok Yem dan turun menjemput Fadlan.

Ah, untuk kau yang membaca ini.
Jika ingin merasakan perjalanan yang indah.
Cobalah Lawu sebagai gunung yang kau capai puncaknya.
Berkendaralah dengan menumpang kereta dan bis seperti kami.
Biar tau nikmat perjalanannya.

Oh ya, dalam perjalanan pulang kami juga harus ribut dengan preman setempat.
ya rasanya memang preman.
Yang menghadang kami, dan memarahi kami karena naik tak membayar lalu menagih uang pendakian.
Padahal jelas-jelas diawal kami sudah memiliki kesepakatan tak tertulis dengan orang yang ada di tempat pengumpulan tarif retribusi.
Kemudian kami berkelahi mulut dengan seorang supir yang terlalu lama menggantungkan kami, dan membuat kami menunggu lama dalam mobil karena ternyata dia sedang menunggu penumpang lain.

Di 2018 saja, sudah 4 tahun ini berlalu.
Aku masih ingat betapa mendebarkan dan menyenangkannya pendakian ini.
Sedikit bonus beberapa foto dan video  yang dapat aku bagikan.



Inilah tenda yang dengan gagah Heri dirikan.

Ini Heri dengan sosok Mbok Yem yang begitu menginspirasi

Letih ternyata menulis sepanjang ini di blog.
Ya sudah, mungkin nanti akan aku rapikan lagi.





You Might Also Like

0 komentar